Maaf, Malam itu Saya Mendukung Malaysia*

*Artikel ini dimuat di Tabloid Bola Edisi 24-25 November 2011

Senin, 21 November 2011, saya menjadi saksi pertandingan final sea games sepakbola yang mempertemukan Malaysia dengan Garuda Muda di stadion Gelora Bung Karno (GBK). Sebagai salah seorang panpel pertandingan, saya mendapat tugas mengawasi ruang kendali scoring board GBK dan sangat beruntung dapat menyaksikan laga panas tersebut tanpa berdesak-desakan dengan penonton.

Walaupun saya 100% orang Indonesia, lahir di Indonesia dari orang tua asli Indonesia, entah mengapa hati kecil saya mendukung Malaysia dalam pertandingan final tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia belum pantas menjadi Juara Asia Tenggara. Mengapa? Jalannya hati memang sulit dicerna dengan logika, tapi mungkin ada beberapa kondisi sebelum pertandingan yang menyebabkan penghianatan tersebut.

Pertama, Ketidakdewasaan Suporter Indonesia. Sepakbola pada hakikatnya adalah permainan olahraga yang seharusnya bebas dari aroma dendam politik. Ntah apa salah pemain-pemain dan ofisial Malaysia sehingga mereka harus diteriaki “Maling” atau kata-kata kotor lainnya oleh mayoritas penonton di GBK. Ditambah lagi sikap yang sangat tidak elegan sikap suporter Indonesia yang tetap membuat keramaian saat Lagu kebangsaan Malaysia dinyanyikan. Dalam dimensi kemanusiaan, bisa dikatakan bahwa pemain dan official tim Malaysia telah diperlakukan tidak adil oleh para suporter Indonesia.

Kedua, Mentalitas dan sikap pemain. Ketika mengintip latihan resmi kedua tim, saya melihat sebuah perbedaan yang besar. Ada sebuah gairah, energi dan semangat yang tinggi dari pemain-pemain Malaysia saat sesi latihan. Cukup berbeda dengan atmosfir latihan Timnas. Pemain-pemain memang serius mengikuti latihan, tapi terlihat seperti dengan motivasi yang biasa-biasa saja. Simpati saya kepada pemain-pemain timnas juga agak berkurang dengan kabar yang beredar bahwa para banyak pemain timnas yang sering keluar dari penginapan atlet untuk bersenang senang di tempat hiburan sampai larut malam.

Ketiga, Persiapan timnas yang terganggu. Dengan tetap memberikan appresiasi kepada pemain-pemain Indonesia yang telah berjuang optimal, kita harus mengakui bahwa Malaysia bermain sebagai sebuah tim yang utuh dan matang. Supply bola dari belakang ke tengah, tengah ke depan, begitu lancar. Ketika bertahan, hampir semua pemain turun ke belakang, begitu pula ketika menyerang. Persiapan tim yang dilakukan selama satu tahun, ditambah banyaknya punggawa tim Harimau Malaya yang juga merupakan skuad Juara Piala AFF 2010. Sebaliknya kita tidak bermain sebagai tim, tapi mengandalkan skill individu para pemain lewat set piece, sprint dan  dribble. Timnas Sea Games ini diproyeksikan oleh pengurus PSSI sebelumnya dengan Nakhoda Alfred Riedl. Alfred tentu sudah punya rencana sendiri, rencana yang dipersiapkan sejak satu tahun yang lalu. Sedangkan Rahmad Darmawan (RD) tidak bisa optimal dalam mempersiapkan timnas karena hanya diberi waktu sekitar 3 bulan. Hal ini tidak akan terjadi jika PSSI tidak gegabah memecat Alfred. Jika memang benar satlak Prima yang menginginkan pelatih lokal, maka tentu saja komposisi Alfred sebagai Pelatih kepala, dan RD sebagai asisten akan menjadi sebuah Winning Formula dan Win-win solution. Hal ini diperparah dengan ketidakmampuan PSSI untuk memulai kompetisi dan mendatangkan lawan-lawan uji coba yang berkualitas.

Yang Terakhir adalah intervensi Pengurus PSSI yang ternyata tidak memberikan RD kebebasan dalam pemilihan pemain timnas. Seperti kata RD seusai laga Final “Sebagai pelatih timnas U-23, saya pikir satu hal, bahwa seorang pelatih timnas harus diberikan suatu kewenangan luas untuk menentukan pemain terbaik dari sebuah kompetisi untuk bisa dipanggil, berdasarkan kebutuhan tim. Bukan karena si A darisana, Si B dari sini,”.Pernyataan RDtersebut menjadi bukti bahwa Djohar Arifin bukanlah ketua umum yang memihak golongan-golongan tertentu dan tidak competent untuk memimpin sebuah organisasi besar seperti PSSI.

Waktu tidak mungkin berputar ke belakang, saatnya menatap ke depan. Semoga kita semua dapat instropeksi diri. Kekalahan atas Malaysia bukan akhir dari segalanya, bukan akibat kesalahan pemain atau pelatih, tapi kesalahan kita semua, kesalahan seluruh elemen sepakbola Indonesia.

About abdilsani
A freelance football writer and an environmental engineer

Leave a comment